Blog dalam wall street journal menyebutkan bahwa, yayasan
IFRS yang mengawasi kinerja IASB berencana untuk menjelaskan berbagai hal
sehubunga dengan proses penentuan standar Akuntansi .
Dewan Pengawas IASB sampai turun tangan dalam menjelaskan
proses penentuan standar IFRS dimaksudkan untuk “Menghindari munculnya kembali
ketegangan politis sehubungan dengan krisis keuangan global yang cenderung
merembet hingga ke masalah penerapan standar akuntansi global”
Dari penyataan diatas timbul pernyataan. “ apakah IFRS produk
gagal?” karena sikap FASB dan SEC yang aneh
Awalnya isyu penerapan IFRS memperoleh sambutan yang gegap
gempita di berbagai negara, termasuk di AS yang saat itu masih mendominasi pencatutan
ekonomi dunia. Sebagian publik, terutama di wilayah akuntansi, tentu sudah
mengetahui bagaimana alotnya proses perlaihan standar akuntansi di AS, Jepang
dan sejumlah negara lainnya dengan berbagai alasan (jika tidak mau disebut
seperti penolakan halus). Seperti amreika misalnya yang diwakili FASB dan SEC
sampai saat ini mengatakan belum mau bergeser dari US_GAAP. AS selalu memiliki
alasan untuk belum (mungkin tidak) mau menerapkan IFRS.
Dari sekian banyaknya isi IFRS yang tidak disepakati oleh
pihak AS, sebagian besar karena alasan “kesulitan implementasi secara teknis”,
bahkan untuk hal-hal yang menurut publik, sangat kecil pengaruhnya bagi
kelangsungan standar akuntansi di AS, secara keseluruhan
Di hiruk
pikuk negara negara yang sibuk dengan konvergensi IFRS, diam diam FASB justru
memperkuat US-GAAPnya dengan melakukan reformasi besar-besaran sejak tahun 2009
dengan menghasilkan ASC (Accounting Standard Codification).
Di negara
lain jepang tidak kalah alotnya dalam mengadopsi IFRS. Jepang yang pasar
modalnya cukup disegani, dengan badan peringkat kredit yang cukup
diperhitungkan di kancah global, jangankan untuk mengkonvergensi IFRS perkiraan
untuk mengadopsi-pun, Dewan Standar Akuntansinya belum bisa perkirakan secara
pasti.
Sebagai kolega
dari IASB di Asia dan penyandang dana terbesar proyek IFRS tentu Jepang masih dengan diplomatis
mengatakan bahwa “Jepang punya standar
akuntansi sendiri dengan karakteristik
yang memang disesuaikan dengan lingkungan bisnis di Jepang, butuh waktu untuk
melakukan transisi.” Meskipun, asosiasi pengusaha di Jepang, tahun lalu,
telah menyampaikan petisi yang isinya: terang-terangan
menolak untuk menerapkan IFRS.
Bagi
sebagian besar pelaku usaha di Jepang, manfaat dari implementasi IFRS tidak
sebanding dengan energi dan waktu yang akan dikonsumsi untuk melakukan
peralihan sistim pelaporan keuangan dari Japanese GAAP ke IFRS. Bisa
dikatakan, IFRS bukan ‘barang’ yang cukup diminati di Jepang.
Pengaruh
penerapan akuntansi di AS terhadap negara-negara lain, rasanya sudah tidak
perlu kita perbincangkan lagi. Tidak perlu analisa perbandingan pengaruh index
saham AS vs. Eropa terhadap pasar saham dan pasar modal dunia. Tidak perlu juga
membahas besar mana bursa pasar precious metal (emas dan perak) London
dengan New York .Lupakan Jepang—yang hingga saat ini NEKKEI-nya masih cukup
kuat (meskipun pertumbuhan ekonomi makronya kalah cepat jika dibandingkan
dengan China)
kuatnya
pengaruh US-GAAP bagi standar Akuntansi semua negara di dunia, termasuk Eropa
sendiri. Jika FASB tidak cukup kuat, tentu DSAK kita di Indonesia tidak pernah
mengadopsi US-GAAP bulat-bulat, selama berpuluh-puluh tahun di masa lalu.
Jika rumor “AS sudah bangkrut” saat ini kita telan mentah-mentah-pun, saya tidak melihat jika
pertumbuhan pasar modal dan investasi di Eropa lebih baik dibandingkan dengan
Amerika Serikat. Di luar Inggris, efek domino kebangkrutan Yunani hingga saat
ini masih terus menjalar. Sebaliknya, negara-negara di Amerika Latin yang
standar akuntansinya berkiblat ke Amerika Utara (AS dan Canada), pertumbuhan
pasarnya sangat bagus. Negara Brazil misalnya, memiliki pertumbuhan ekonomi
paling bagus di dunia, saat ini, di luar China.
Posisi China
(bersama India), yang digadang-gadang sebagai negara yang memiliki pertumbuhan
ekonomi sangat bagus saat ini, juga belum jelas—sejauh mana penerapan IFRS akan
dilakukan di sana dan bagaimana pasar modalnya. Yang lebih sering saya dengar,
mengenai China, adalah praktek devaluasi mata uang secara sepihak—yang
cenderung hanya menguntungkan dirinya sendiri ketimbang negara mitra-mitranya.
Mau-tidak-mau, suka-atau-tidak, untuk mengukur tingkat keberhasilan
penerapan IFRS dalam skala global, tidak bisa lepas dari faktor keseriusan AS (FASB,
AICPA dan SEC) dalam mematangkan recananya menerapkan IFRS. Jika ini yang
menjadi dasar pertimbangan Dewan Pengawas IASB, rasanya wajar jika mereka
resah, mengingat sampai saat ini AS masih belum menentukan sikapnya secara
pasti. Belum lagi, langkah FASB yang diam-diam lebih memilih untuk
menyempurnakan GAAP-nya ketimbang urusan adopasi IFRS. Jika tidak berhasil
meyakinkan publik, bisa jadi IFRS terancam menjadi produk gagal.
melihat
banyaknya waktu dan energi yang telah kita gunakan untuk konvergensi ke IFRS,
rasanya sangatlah tidak mungkin untuk kembali lagi ke US-GAAP. Di luar
pertimbangan waktu dan cost, meskipun nanti ternyata AS tidak menerapkan IFRS
sepenuhnya, rasanya, PSAK baru (yang sekarang sudah sepenuhnya mengikuti IFRS)
tidak perlu dikembalikan ke US-GAAP. Mengapa?
Karena secara teknis, isi Accounting
Standard Codification (calon rival kuatnya IFRS yang sekarang sedang
‘dielus-elus’ dan dibiakan oleh FASB), tiada lain adalah penyempurnaan atas
kelemahan-kelamahan kerangka kerja US-GAAP dan aturan yang sudah tidak relevan
saat ini. Saya pribadi sudah mempelajari ASC—meskipun belum sepenuhnya, dan isi ASC
adalah gabungan antara US-GAAP yang diperbaharui dan IFRS. Tentu masih banyak
perbedaan antara ASC dengan IFRS, hanya saja tidak sejauh antara US-GAAP vs
IFRS.
Menurut DSAK
yang berpartner dengan BAPEPAM, masalah konvergensi IFRS secara global hanya
menunggu waktu untuk disepakati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar