Selasa, 04 September 2012

Ada Apa Dengan IFRS?


Blog dalam wall street journal menyebutkan bahwa, yayasan IFRS yang mengawasi kinerja IASB berencana untuk menjelaskan berbagai hal sehubunga dengan proses penentuan standar Akuntansi .
Dewan Pengawas IASB sampai turun tangan dalam menjelaskan proses penentuan standar IFRS dimaksudkan untuk “Menghindari munculnya kembali ketegangan politis sehubungan dengan krisis keuangan global yang cenderung merembet hingga ke masalah penerapan standar akuntansi global”
Dari penyataan diatas timbul pernyataan. “ apakah IFRS produk gagal?” karena sikap FASB dan SEC yang aneh
Awalnya isyu penerapan IFRS memperoleh sambutan yang gegap gempita di berbagai negara, termasuk di AS yang saat itu masih mendominasi pencatutan ekonomi dunia. Sebagian publik, terutama di wilayah akuntansi, tentu sudah mengetahui bagaimana alotnya proses perlaihan standar akuntansi di AS, Jepang dan sejumlah negara lainnya dengan berbagai alasan (jika tidak mau disebut seperti penolakan halus). Seperti amreika misalnya yang diwakili FASB dan SEC sampai saat ini mengatakan belum mau bergeser dari US_GAAP. AS selalu memiliki alasan untuk belum (mungkin tidak) mau menerapkan IFRS.
Dari sekian banyaknya isi IFRS yang tidak disepakati oleh pihak AS, sebagian besar karena alasan “kesulitan implementasi secara teknis”, bahkan untuk hal-hal yang menurut publik, sangat kecil pengaruhnya bagi kelangsungan standar akuntansi di AS, secara keseluruhan
Di hiruk pikuk negara negara yang sibuk dengan konvergensi IFRS, diam diam FASB justru memperkuat US-GAAPnya dengan melakukan reformasi besar-besaran sejak tahun 2009 dengan menghasilkan ASC (Accounting Standard Codification).
Di negara lain jepang tidak kalah alotnya dalam mengadopsi IFRS. Jepang yang pasar modalnya cukup disegani, dengan badan peringkat kredit yang cukup diperhitungkan di kancah global, jangankan untuk mengkonvergensi IFRS perkiraan untuk mengadopsi-pun, Dewan Standar Akuntansinya belum bisa perkirakan secara pasti.
Sebagai kolega dari IASB di Asia dan penyandang dana terbesar proyek IFRS tentu Jepang masih dengan diplomatis mengatakan bahwa “Jepang punya standar  akuntansi sendiri dengan karakteristik yang memang disesuaikan dengan lingkungan bisnis di Jepang, butuh waktu untuk melakukan transisi.” Meskipun, asosiasi pengusaha di Jepang, tahun lalu, telah menyampaikan petisi yang isinya: terang-terangan menolak untuk menerapkan IFRS.
Bagi sebagian besar pelaku usaha di Jepang, manfaat dari implementasi IFRS tidak sebanding dengan energi dan waktu yang akan dikonsumsi untuk melakukan peralihan sistim pelaporan keuangan dari Japanese GAAP ke IFRS. Bisa dikatakan, IFRS bukan ‘barang’ yang cukup diminati di Jepang.
Pengaruh penerapan akuntansi di AS terhadap negara-negara lain, rasanya sudah tidak perlu kita perbincangkan lagi. Tidak perlu analisa perbandingan pengaruh index saham AS vs. Eropa terhadap pasar saham dan pasar modal dunia. Tidak perlu juga membahas besar mana bursa pasar precious metal (emas dan perak) London dengan New York .Lupakan Jepang—yang hingga saat ini NEKKEI-nya masih cukup kuat (meskipun pertumbuhan ekonomi makronya kalah cepat jika dibandingkan dengan China)
kuatnya pengaruh US-GAAP bagi standar Akuntansi semua negara di dunia, termasuk Eropa sendiri. Jika FASB tidak cukup kuat, tentu DSAK kita di Indonesia tidak pernah mengadopsi US-GAAP bulat-bulat, selama berpuluh-puluh tahun di masa lalu.
Jika rumor “AS sudah bangkrut” saat ini kita telan mentah-mentah-pun, saya tidak melihat jika pertumbuhan pasar modal dan investasi di Eropa lebih baik dibandingkan dengan Amerika Serikat. Di luar Inggris, efek domino kebangkrutan Yunani hingga saat ini masih terus menjalar. Sebaliknya, negara-negara di Amerika Latin yang standar akuntansinya berkiblat ke Amerika Utara (AS dan Canada), pertumbuhan pasarnya sangat bagus. Negara Brazil misalnya, memiliki pertumbuhan ekonomi paling bagus di dunia, saat ini, di luar China.
Posisi China (bersama India), yang digadang-gadang sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi sangat bagus saat ini, juga belum jelas—sejauh mana penerapan IFRS akan dilakukan di sana dan bagaimana pasar modalnya. Yang lebih sering saya dengar, mengenai China, adalah praktek devaluasi mata uang secara sepihak—yang cenderung hanya menguntungkan dirinya sendiri ketimbang negara mitra-mitranya.
Mau-tidak-mau, suka-atau-tidak, untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan IFRS dalam skala global, tidak bisa lepas dari faktor keseriusan AS (FASB, AICPA dan SEC) dalam mematangkan recananya menerapkan IFRS. Jika ini yang menjadi dasar pertimbangan Dewan Pengawas IASB, rasanya wajar jika mereka resah, mengingat sampai saat ini AS masih belum menentukan sikapnya secara pasti. Belum lagi, langkah FASB yang diam-diam lebih memilih untuk menyempurnakan GAAP-nya ketimbang urusan adopasi IFRS. Jika tidak berhasil meyakinkan publik, bisa jadi IFRS terancam menjadi produk gagal.
 melihat banyaknya waktu dan energi yang telah kita gunakan untuk konvergensi ke IFRS, rasanya sangatlah tidak mungkin untuk kembali lagi ke US-GAAP. Di luar pertimbangan waktu dan cost, meskipun nanti ternyata AS tidak menerapkan IFRS sepenuhnya, rasanya, PSAK baru (yang sekarang sudah sepenuhnya mengikuti IFRS) tidak perlu dikembalikan ke US-GAAP. Mengapa?
Karena secara teknis, isi Accounting Standard Codification (calon rival kuatnya IFRS yang sekarang sedang ‘dielus-elus’ dan dibiakan oleh FASB), tiada lain adalah penyempurnaan atas kelemahan-kelamahan kerangka kerja US-GAAP dan aturan yang sudah tidak relevan saat ini. Saya pribadi sudah mempelajari ASC—meskipun belum sepenuhnya, dan isi ASC adalah gabungan antara US-GAAP yang diperbaharui dan IFRS. Tentu masih banyak perbedaan antara ASC dengan IFRS, hanya saja tidak sejauh antara US-GAAP vs IFRS.
Menurut DSAK yang berpartner dengan BAPEPAM, masalah konvergensi IFRS secara global hanya menunggu waktu untuk disepakati



Tidak ada komentar:

Posting Komentar