Adalah suatu kehormatan teramat besar,
bahwa saya diminta sebagai host Gala Dinner pada penutupan Konvensi
Nasional Akuntansi ke-7 di Keraton Yogyakarta. Kehormatan itu menjadi
semakin bermakna, karena yang hadir adalah para Akuntan yang menyandang
predikat noble profession, dan memiliki peran di sektor hulu dalam
membangun good governance.
Mengapa
disebut berada di sektor dulu, karena dalam menetapkan penilaian wajar
tanpa pengecualian (WTP) terhadap suatu entitas government, dapat
menjadi entry point awal menuju tata kelola kepemerintahan yang baik.
Penilaian WTP tidak sekedar untuk memenuhi ketentuan formalitas belaka,
tetapi harus disertai pertanggungjawaban moral seorang Akuntan, baik
yang berprofesi di Akuntan Publik, Inspektorat, Badan Pengawasan
Keuangan Pembangunan (BPKP) maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Guna mewujudkan good governance, setidaknya harus ditegakkan oleh empat pilar: prinsip kepastian hukum, transparansi, akuntabilitas dan profesionalisme. Dalam ikut membantu penegakan hukum, misalnya, seorang akuntan hendaknya berani memberikan catatan tentang penyimpangan terhadap ketentuan hukum, agar memudahkan penegak hukum dalam menindaklanjuti temuan-temuan yang berpotensi pelanggaran hukum. Dalam prinsip transparansi, hendaknya seorang akuntan bisa menumbuhkan iklim kondusif yang bersifat mutual-trust dengan satuan kerja, sehingga bisa memberikan informasi dan tata pemeriksaan yang benar, jujur dan tidak diskriminatif berdasarkan asas-asas akuntansi dan standar kepatutan yang berlaku.
Istilah good governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negera-negara luar dan lembaga-lembaga donor yang menyoroti kondisi obyektif situasi perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia. Good governance sesungguhnya adalah ideologi liberal yang menempatkan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan internasional. Oleh sebab itu, dalam penerapannya pun kita harus penuh kehati-hatian, agar supaya tidak menjadi over-liberalisasi yang berpotensi melanggar Konstitusi kita sendiri.
Menurut pandangan Shri Satish Chandra Mishra, seorang penganut liberalisme di India, ia membuat metafora good governance sebagai troika yang ditarik oleh tiga ekor kuda: “negara, pasar, dan masyarakat. Dalam pandangan ini, negara memainkan peran yang sangat terbatas dalam pengelolaan ekonomi, dengan kata lain peran institusi negara semakin mengecil.
Good governance ini akan tegak jika didukung oleh tiga pilar pasif, yakni “bersih, transparan, dan akuntabilitas atau bertanggung-gugat” dan beberapa pilar aktif, meliput: “responsif, sigap, solid, fleksibel, terintegrasi, dan inovatif”. Kedua jenis pilar tersebut, khususnya pilar aktif sangat berkaitan dengan kondisi bebas dari korupsi. Usaha-usaha anti korupsi adalah bersifat dinamis, karena dalam jangka panjang akan memacu pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat melihat dan merasakan, bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensional hari ini adalah terjadinya abuse of power yang terwujud dalam bentuk KKN, dan sudah mewadah dalam segala aspek kehidupan. Pelbagai kajian ihwal korupsi di Indonesia memperlihatkan korupsi berdampak negatif terhadap pembangunan melalui kebocoran, mark up yang menyebabkan produk-produk kita tidak kompetitif di pasar global, karena menjadikannya high cost economy, selain merusakkan tatanan masyarakat dan kehidupan bernegara.
Yang lebih memprihatinkan, praktek KKN yang paling mencolok kualitas dan kuantitasnya justru dilakukan oleh cabang-cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini mengarahkan wacana pada bagaimana menggagas reformasi birokrasi pemerintahan, yang ditujukan pada tiga unsur utama, yaitu: “kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM”. Dan di sinilah, menurut hemat saya, peran kalangan akuntan dibutuhkan, agar tercipta terlebih dulu kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.
Seorang pakar transformasi budaya organisasi, John P. Kotter, mengatakan, bahwa transformasi merupakan suatu perubahan besar dan radikal yang terjadi di suatu organisasi, seperti layaknya perubahan dari kepompong menjadi kupu-kupu. Suatu perubahan yang tidak cukup hanya dilakukan secara perlahan-lahan, selangkah demi selangkah, apalagi menghadapi dinamika perubahan yang demikian cepat.
Itulah sebabnya bahwa transformasi merupakan tugas dari pimpinan puncak. Jadi, jangan berharap transformasi akan bisa terjadi bila pimpinan puncak tidak mempunyai keinginan untuk suatu perubahan. Namun, mendengar kata “perubahan” mungkin saja kita menjadi khawatir, karena harus melalui berbagai proses yang menyakitkan dan risiko kegagalan..
Menurut John P. Kotter dan Dan S. Cohen dalam bukunya “The Heart of Change”, orang terdorong untuk berubah karena ia “melihat” urgensi untuk berubah, “merasakan” kepentingan untuk berubah, dan untuk selanjutnya siap “melakukan” perubahan. Memang Kotter sendiri juga menyadari, bahwa setiap kali manusia dipaksa untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi yang berubah, di situ selalu ada kegetiran.
Ketiga prinsip di atas: “Melihat”, “Merasakan”, dan “Melakukan” ternyata bukan bermuara pada pendekatan manajemen, teknis, anggaran, atau pun pendekatan ilmiah yang canggih, melainkan pada SDM yang terlibat dalam perubahan tersebut. Dengan demikian juga harus berujung pada perubahan sikap manusia.
Tanpa adanya “urgensi”, tak akan ada perubahan. Prinsip “melihat”, “merasakan” dan “melaksanakan” bisa diterapkan dalam menciptakan urgensi untuk berubah. Pada aparat birokrasi bisa diajak untuk “melihat” kesulitan, kekalahan, kegagalan dan keterpurukan yang sedang atau pun yang akan terjadi jika perubahan tidak dilaksanakan. Emosi yang kuat karena timbul dari melihat fakta, merupakan senjata ampuh dalam menciptakan urgensi untuk berubah.
Pesimisme
dan sinisme bisa dipadamkan dengan memetakan dan menghargai
kemenangan-kemenangan kecil yang diraih dalam perjalanan menuju sukses.
Jadi, hasil yang akan diraih melalui sebuah perubahan besar perlu
dipecah menjadi short-term wins sehingga lebih mudah untuk dicapai.
Pimpinan perlu ‘memperlihatkan” kesungguhan dengan menghargai setiap
small-wins bawahan.
Misalkan
melalui pujian, piagam penghargaan, insentif, atau promosi, sehingga
mereka “merasa” bersemangat untuk terus melaju “melaksanakan” perubahan.
Justru mengubah “dari kepatuhan akuntansi menjadi budaya kepemerintahan
yang baik” inilah, yang strategis perlu dipikirkan, dan hendaknya
jawaban tentang hal ini juga termuat dalam pernyataan sikap profesi yang
merupakan hasil Konvensi tersebut.
Dengan visi dan harapan seperi itulah, saya mengapresiasi usaha-usaha IAI dalam berpartisipasi mewujudkan “Transformasi Good Governance: Dari Kepatuhan Menuju Budaya”, yang sarat akan nilai-nilai dan perilaku birokrasi yang baik, yang bersumber pada budaya dan peradaban kita yang unggul dan adiluhung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar